Cikal Bakal Desa Payogan
IV.1. Sejarah Singkat Ubud.
Sejarah Ubud tidak bisa dilepaskan
dengan kisah perjalanan Rsi Markadya, saat perjalanan sucinya membangun Bali
secara spiritual, dengan adanya Pura Gunung Lebah di Campuan Ubud dan Pura
Pucak Payogan di Payogan. Seperti yang dipaparkan diatas, Mpu
Kuturan menyusul dengan menanamkan konsep Tri Murti di Bali, berawal dari Pura
Samuan Tiga.
*)Pasar Ubud Tahun 1910. Foto
Belum lagi kekuatan spiritual yang
dipancarkan oleh Ida Dhang Hyang Nirarta di sekitar tahun 1489 Masehi pada masa
pemerintahan Dalem Baturenggong, dimana Bali mencapai zaman keemasannya.
Bahkan beliau (Ida Dhang Hyang Nirarta)
kemudian berasrama di Mas Ubud, tepatnya di Pura Taman Pule sekarang.
*) Pura Taman Pule
Mas
Beliau dan para putra mengajarkan
faham Siwaistis di Bali. Pancaran spiritual maha tinggi itulah menurut para
ahli yang membuat Ubud menjadi sangat bersinar di manca negara. Kakuatan
spiritual yang sangat tinggi di Ubud bersaing dengan pantai yang indah, gunung
yang megah, air terjun yang memukau, menjadikan Ubud sebuah tempat yang sangat
cocok untuk para penekun spiritual di seluruh dunia.Ubud dengan kekuatan
spiritual itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi para wisatawan domestik
maupun mancanegara. Terutama wisatawan Spiritual.
IV.2.
Ubud di Abad XVII sampai abad XX.
Menurut beberapa babad dan
penelitian bangsa asing, Ubud di Abad XVII masih terdiri dari sawah ladang dan
semak belukar, dan hutan. Sebagaian kecil sudah didiami oleh penduduk yang
terdiri dari Kuwu-kuwu (Pondokan), mereka mendiami wilayah-wilayah, Jungut,
Taman dan Bantuyung. Masih menjadi wilayah kekuasaan dari Kerajaan
Sukawati yang berdiri sekitar tahun 1710, dengan raja pertamanya yang bernama Sri
Aji Maha Sirikan,
Sri Aji Wijaya Tanu.
*)
Puri Ubud Th 1910, Foto
Pada Saat I
Dewa Agung Made menjadi raja di Peliatan,
dua adik beliau ditugaskan memegang wilayah, Ida Tjokorda Gde Karang di Padang Tegal Ubud. Ida Tjokorda Tangkeban
ditugaskan di Ubud. Banyak pura kemudian berdiri di Ubud dalam masa
pemerintahan beliau.
Pada saat Ubud mulai berkembang, dan menjadi daerah
Manca, Ida Tjokorda Tangkeban meninggalkan Ubud menuju Jegu, wilayah Tabanan, sedangkan Tjokorda Gde Karang
membangun puri di wilayah selatan Ubud, dekat dengan Sukawati, diberi nama Puri Negara di Desa Negara.
Jadilah Ubud kemudian tanpa pemimpin. Atas inisiatif dari seorang keturunan Bandesa Mas yang tinggal di Jungut, maka menghadaplah para
pemuka masyarakat Ubud ke puri Peliatan, tujuannya adalah untuk nuhur pemimpin
untuk Ubud, agar ada yang mengatur kegiatan ekonomi, keagamaan dan
kemasyarakatan di Ubud.
*)Barong Ket di Ubud Th 1930. Foto
Oleh raja Peliatan saat itu, Ida Tjokorda Batuan,
diperintahkan Ida Tjokorda Putu
Kandel, treh Dalem Sukawati agar memimpin Ubud. Ida Tjokorda Putu
Kandel sebagai pemimpin Ubud kemudian mendirikan Puri Saren Kangin Ubud.
Perkiraan angka tahun 1823 sampai dengan tahun
1850, setelah Ida Tjokorda Putu
Kandel Wafat, digantikan oleh putranya,
yang bernama Ida Tjokorda Putu
Sukawati. Pada masa kepemimpinan beliau, Ubud semakin maju di berbagai
bidang.
Dibidang spiritual dan budaya Ubud mulai menggeliat
dengan dibuatnya Barong Ket sebagai sesuhunan yang bertujuan sebagai alat
pemersatu masyarakat. Kegiatan adat, agama dan yadnya lainnya yang semarak di
kawasan Ubud telah mengilhami masyarakatnya sehingga tumbuh dan berkembangnya
seni dan budaya dikawasan ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara
agama, adat dan budaya serta kehidupan masyarakatnya sehari-hari.
IV.3. Sejarah Singkat Payogan
IV.3.1. Runtuhnya Mengwi.
Dengan menyerahnya Keraton Mengwi, Mengwi dibawah kekuasaan raja Badung
maka diangkatlah Anak Agung Putu Kukus sebagai pejabat penguasa Mengwi,
kekuasaan Anak Agung Putu Kukus meliputi
wilayah-wilayah yang ditaklukan Badung setelah mendapatkan pembagian dari
sekutunya, antara lain: Tabanan, Ubud,
dan Bangli. Banyak rakyat Mengwi yang masih setia kemudian meninggalkan
wilayah kekuasaan Anak Agung Putu Kukus, terutama para prajurit Mengwi, meminta
perlindungan kepada Raja Tabanan, Ubud dan Bangli. Penduduk-penduduk yang
berdiam di wilayah perbatasan Mengwi banyak yang meninggalkan desanya. hal itu
mereka lakukan karena ketidakpuasan mereka dengan pemerintahan Anak Agung Putu
Kukus yang masih membiarkan sikep-sikep Badung melakukan penjarahan di
desa-desa mereka. Pemberontakan-pemberontakan kecil sering terjadi dibeberapa
wilayah perbatasan kekuasaan Anak Agung Putu Kukus, sehingga para penduduk yang
semula damai menepati daerahnya merasa tidak tenang dan ketakutan memilih untuk
meninggalkan desa. Kedua Adipati Agung Kerajaan Mengwi yaitu I Gusti Putu Mayun (Putra dari I
Gusti Agung Munggu, treh Arya Kepakisan)
dan I Gusti Made Ngurah dapat menyelamatkan diri
dari peperangan yang terjadi di keraton Mengwi sampai wilayah hamparan sawah di
daerah Mengwitani. I Gusti Putu Mayun dan I Gusti
Made Ngurah meninggalkan Mengwi melewati Desa Seseh kearah timur
untuk seterusnya menuju Kerajaan Karangasem. tujuan Beliau adalah menghadap
Raja Karangasem, I Gusti Gde Jelantik untuk melaporkan kehancuran Mengwi.
Karena hanya kerajaan Karangasem sajalah yang masih bersimpati terhadap
kerajaan Mengwi, disebabkan karena masih ada hubungan tali persaudaraan.
Menjelang sore sampailah I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah dengan beberapa pengiringnya di sebuah desa. Desa kecil dengan dataran
hijau sawah dan ladang yang diapit oleh 2 aliran sungai besar, Sungai Ayung dan
Sungai Bangyang. Desa itu dikenal dengan nama desa Gerih (Tegal
Lumbung). Bekas desa akuwu yang dulu didirikan oleh I Gusti Ngurah Pangeran Sukahet,
setelah pelarian Beliau dari Badung saat kehancuran Puri Tegeh Kori.
Setelah Mengwi diperintah oleh Anak Agung Putu Kukus,
Desa Tegal Lumbung sering sekali dijarah oleh laskar Badung, antara lain oleh
laskar Padang Sambyan, laskar Peguyangan dan laskar Tegal, sehingga desa Tegal
Lumbung yang dulunya tenang dan damai menjadikan mencekam. Karena hari menjelang malam, beristirahatlah
I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah beserta
para pengiringnya di rumah Kyai Bandesa. Setelah menginap beberapa hari di
rumah Kyai Bandesa. I Gusti Putu Mayun
dan I Gusti Made Ngurah melanjutkan perjalanan menuju
keraton Karangasem, diiringi oleh 78 orang pengiring, yang berasal dari
keturunan Pasek Gelgel, Keturunan
Sangging, Keturunan Pasek Gaduh, Keturunan Pande Tonja (Tohjiwa), Keturunan Ki
Majengan, Keturunan Wang Bang Pinatih (Temesi), Keturunan Bandesa Denpasar,
keturunan Tangkas Kori Agung, juga
beberapaKeturunan Brahmana Mas.
IV.3.2. Menghadap Raja Karangasem.
Tidak diceritakan dalam perjalanan Tanggal 11 April 1893, I Gusti Putu Mayun
dan I Gusti Made Ngurah menghadap raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik. Saat
itu Karangasem sedang diperintah oleh dua orang raja, I Gusti Gde Jelantik dan I Gusti
Gde Putu. Rombongan dari mengwi menghadap raja Karangasem I Gusti Gde
Jelantik, saat Beliau sedang menerima tamu Controleur Belanda J.H
Liefrinck. Controleur
Belanda J.H Liefrinck sedang bertugas mengamati situasi politik di Karangasem
dan Gianyar, menurut
laporannya Raja Karangasem memperlihat kan sepucuk surat dari Raja Badung
menjawab surat darinya yang mempertanyakan mengapa kerajaan Badung menyerang
daerah Sibang. Jawabannya bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah langsung
Dewa Agung di Klungkung.
Mengetahui hal tersebut, I Gusti Putu Mayun dan I Gusti Made Ngurah
sangat menyesalkan sikap Dewa Agung di Klungkung yang menyarankan kepada
Kerajaan Mengwi untuk berdamai dengan kerajaan Badung. sehingga Kerajaan Mengwi
tidak sempat membangun benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan dari
sikep Badung. Raja Karangasem I Gusti Gde Jelantik sangat malu karena saat itu
Beliaulah yang menjadi utusan Dewa Agung di Klungkung ke Kerajaan Mengwi untuk
menyampaikan amanat dari Dewa Agung di Klungkung. Yang ternyata semua itu
adalah muslihat untuk menghancurkan Kerajaan Mengwi, dimana menurut Dewa Agung
di Klungkung, Raja Mengwi sudah punya keinginan melepaskan diri dari kekuasaan
Dewa Agung di Klungkung.
IV.3.3. Menghadap Raja Klungkung.
Setelah tinggal cukup lama di Karangasem, di bawah perlindungan raja
Karangasem, I Gusti Gde Jelantik, kembalilah semua rombongan itu kearah barat,
berkeinginan untuk menghadap Raja Klungkung
I Dewa Agung, hal tersebut dilakukan atas saran dari Raja Karangasem,
Dengan pertimbangan akan sangat berbahaya kalau kembali ke Mengwi, karena
Mengwi sudah dibawah kekuasaan Badung. Tanggal 8 September 1893, rombongan
Adipati Agung diterima oleh I Dewa Agung Sasuhunan Bali Lombok di dampingi oleh
putra mahkota, I Dewa Agung Gde, beserta adipati Klungkung I Dewa Agung Rai.
Dalam pembicaraan itu disarankan oleh I Dewa Agung, agar I Gusti Made
Ngurah menghadap Raja Ubud, Tjokorda Gde Sukawati, untuk meminta
perlindungan, karena dapat dipastikan
kerajaan Badung tidak akan mengusik wilayah Ubud, sesuai dengan perjanjian
penyerangan terhadap Mengwi dahulu. Jadilah kemudian rombongan I Gusti Made
Ngurah berangkat ke Ubud disertai oleh seorang utusan dari I Dewa Agung
Klungkung.
IV.3.4. Menghadap Raja Ubud.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, tibalah rombongan I Gusti Made Ngurah
di keraton Ubud. Diterima langsung oleh Tjokorda Gde Sukawati, juga oleh
para bangsawan Mengwi yang sudah lebih dahulu bergabung dengan Kerajaan Ubud,
membelot dari pemerintahan Raja Mengwi Tjokorda Gde Agung, antara lain:
·
I Gusti Ngurah Pacung penguasa
Carangsari,
·
I Gusti Ngurah Alit Pacung, penguasa
Petang, dan
·
I Gusti Ngurah Gde Jelantik,
penguasa Angantaka.
Saat itu terjadi eksodus besar-besaran dari Mengwi ke Ubud, kejadian
pengungsian besar-besaran rakyat Mengwi dicatat
oleh Controleur
Kolonial Belanda di Gianyar, J.C. Van Eerde, pengungsi Mengwi terdiri
dari orang tua, dewasa dan anak-anak mencapai angka 6000 orang, yang terjadi
dari Tahun 1891 sampai dengan tahun 1896.
Diterimalah kemudian kedua Adipati
Agung Mengwi, I Gusti Made Ngurah dan I Gusti Putu Mayun
dengan pengiringnya oleh Raja Ubud, diberikan pengampunan dan dianugrahi tempat
bermukim di wilayah Ubud perbatasan bagian utara. Yang mana dulunya merupakan
wilayah perbatasan kerajaan Payangan, dari wilayah Tjampuan sampai wilayah Tanggayuda. Adipati Agung Mengwi I Gusti Putu Mayun dianugrahi tempat
berpuri di daerah perbatasan Desa Kedewatan dan Tanggayuda, bersama dengan beberapa
pengiringnya yang setia. Bergabung dengan para bangsawan
Kerajaan Payangan yang mendiami wilayah perbatasan tersebut.
*).Foto (
Tahun 1915 ) Ida Tjokorda Gde Sukawati
Puri
Agung Ubud bersama para pengiringnya
Sedangkan Adipati Agung Mengwi, I Gusti Made Ngurah kembali ke Puri Sedang, puri tempat
kelahiran ibunya. Di desa Sedang kemudian Beliau diangkat menjadi Manca puri di
bulan Agustus tahun 19o7. Pada masa
Pemerintahan Kolonial Belanda, Beliau mendapat jabatan menjadi anggota Read Kertha
Badung di akhir tahun 1920. Para Pengiring Adipati Agung, I Gusti Ngurah Made , yang
terdiri dari beberapa treh berdiam sementara di puri Sedang. Saat Gianyar
menjadi kerajaan di Bawah Kolonial Belanda, Kerajaan Ubud berkembang sangat
pesat. Menurut Catatan Controleur Kolonial Belanda yang bernama J.C. Van Eerde,
Kerajaan Ubud berkembang dengan pesat, dengan semakin banyaknya desa menjadi
wilayah kerajaan Ubud. Sebelum Mengwi jatuh,
kerajaan ubud hanya membawahi 40 desa saja, tetapi pada masa pemerintahan Tjokorda Gde Sukawati, desa kekuasaan
Kerajaan Ubud berkembang menjadi 130 desa. Beliau Bisa memobilisasi 18.000
rakyatnya dengan baik.
Perkebunan kopi sangat menguntungkan wilayah Ubud saat itu, belum lagi
Penguasa Carangsari yang sudah mencaplok wilayah kekuasaan Puri Grana dan
kepemilikan puri Mayun di Sangeh dan Blahkiuh, ini berarti penguasa Carangsari
mempunyai wilayah cukup luas. Tetapi penambahan wilayah kekuasaannya di wilayah
timur laut, secara materi menguntungkan Raja Ubud, karena sebagaian dari
keuntungan perdagangan kopi dan candu di Calangsari dihaturkan ke Puri Agung
Ubud melalui upeti, seperti yang diterangkan pada catatan peneliti Belanda yang
bernama J.H. Liefrinck, tanggal 25 Mei 1893. Menurut Babad Mengwi Lambing,
dijelaskan dengan rinci, bagaimana usaha kedua dinasti Mengwi dan Ubud mengikat
diri dengan jalan perkawinan besar. Hal itu sebagai sebuah penetapan ikatan antara
Puri Agung Ubud dengan Dinasti Mengwi.
*) Foto ( Tahun 1915 )
Ida Tjokorda Gde Sukawati Puri Agung Ubud
bersama Permaisuri , putra mahkota dan pengawal kerajaan
Pernikahan Raja Ubud, Ida Ida Tjokorda Gde Sukawati dengan Putri Bangsawan Mengwi
yang bernama Gusti Ayu Rai (Agung Ayu
Rai), yag merupakan putri ke 3 dari Agung Made Raka Patih, adik dari Adipati Mengwi
I Gusti Made Ngurah. Pernikahan itu tidak hanya mengikat golongan puri saja, beberapa
pengiring Gusti Ayu Rai (Agung Ayu Rai) yang berasal dari
Mengwi, Kapal dan Gerih
(Tegallumbung), yang terdiri
dari keturunan Pasek Gelgel, keturunan Pande Tonja (Toh Jiwa), Keturunan Wang Bang Pinatih (Temesi),
keturunan Tangkas Kori Agung dan Keturunan Bandesa Denpasar, juga mengiringi
Beliau ke Ubud. Controleur Badung yang bernama G De Haze Winkelman
menulis juga dalam catatan pribadinya, Dalam usaha kedua bangsawan kerajaan
Mengwi dan Ubud mengikat diri dengan pernikahan, tercatat ada juga Ida Tjokorda
Gde Sukawati menikahi bangsawan Mengwi, putri dari Agung Ngurah Made Agung yang
bernama Gusti Ayu Alit Rai (Agung Ayu Alit Rai), Beliau beribu dari puri
Sempidi. Bernama Gusti Luh Alit Gadung. Maka semakin eratlah tali persaudaraan
antara dinasti Mengwi dan dinasti Ubud.
IV.3.5. Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde
Sukawati Menganugrahkan Tanah Permukiman untuk Pengiring Dari Mengwi, Kapal dan Gerih (Tegallumbung)
Untuk menampung Para Bangsawan Mengwi, Tjokorda Sukawati kemudian membangun sebuah puri baru, diberi nama Puri
Kelodan. Beberapa pengiring Agung Ayu Rai yang terdiri dari
Golongan Brahmana, berasal dari Giriya Alangkajeng, yang kemudian membangun Giriya baru di Ubud, bernama Giriya
Pemaron yang sekarang bernama Giriya
Mangesrami yang berada dikawasan Taman. Pada kelanjutannya kemudian berpencar di wilayah Ubud sampai
Tegallalang. Para pengiring Gusti Ayu Rai yang berasal dari Mengwi, Kapal, dan Gerih
(Tegallumbung) oleh Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde
Sukawati dianugrahi pilihan 2 daerah tempat bermukim, di Daerah Kalangan (Antara
Tjampuan dengan Lungsiakan) atau Tegal Payogan (Daerah antara Pura Pucak
Payogan dengan Lungsiakan), setelah
melalui pertimbangan yang matang, maka dipilihlah Tegal Payogan untuk tempat
bermukim, sebuah wilayah di dataran subur, dipenuhi dengan tanaman pohon Klenco yang langka.
wilayah perbukitan antara aliran 2
sungai, Sungai Wos Wadon dan Sungai Sayan, di hulu desa berdiri megah sebuah pura peninggalan Maha
Rsi Markandya dulu. Yang dikenal dengan nama pura Pucak Payogan. Desa yang
didiami oleh para pendatang dari Mengwi,
Kapal, dan Gerih (Tegallumbung) tersebut kemudian diberi nama Desa Payogan. Di hari Anggara Wage Dukut Punama
Sasih Sada Saka 1815, atau tanggal Masehi, 30 Mei 1893, para
pengiring Agung Ayu Rai
( Gusti Ayu Rai ) yang berasal dari Mengwi,
Kapal, dan Gerih (Tegallumbung) yang berjumlah 60 kepala keluarga mulai
membuka Daerah Tegal Payogan, Dari Petunjuk Raja Ubud, Ida Tjokorda Gde Sukawati,
warga mulai membangun rumah tinggal, menggarap tanah, juga membangun kayangan.
Bahu membahu bekerja sama membangun kayangan Desa, diantaranya, Pura
Desa dan Puseh, Pura Mlanting, serta Pelinggih
Ratu Ngurah Sakti Agung, didirikan di satu lokasi, di Pura Desa dan
Puseh. Bentuk Pelinggih, tata letak, dan bahan pelinggih disesuaikan dengan
pura pura yang ada di Desa Gerih (Tegallumbung). Meskipun sudah dianugrahi
tempat bermukim oleh Tjokorda Gde
Sukawati, dan sudah mempunyai tempat tinggal dan kayangan desa, masih banyak
dari mereka belum merasa tenang, karena masih memikirkan rumah dan keluarganya
yang masih tertinggal di Gerih (Tegallumbung), secara sembunyi-sembunyi mereka
datang lagi ke Gerih, memastikan keberadaan
harta bendanya.
Ternyata masih banyak tanah
pekarangan yang kosong. Setelah suasana sedikit aman, di kisaran bulan Agustus
1896, 35 kepala keluarga meninggalkan Ubud, ada yang kembali menetap di Gerih
(Tegallumbung) ada juga mendapatkan tempat bermukim di wilayah lain,
diantaranya 12 kepala keluarga mengungsi menuju Negara, Sukawati,
2 kepala keluarga tinggal di Susut Marga, Tabanan, dan 2 kepala
keluarga tinggal menetap di Semana Abiansemal. Sementara 25
kepala keluarga, menetap di Tegal Payogan.
Dari sekian masyarakat Payogan,
pemuka masyarakat I Sraya dan Pan
Pamit yang mempunyai hubungan dekat dengan Puri Agung Ubud, sebagai
penyambung lidah Masyarakat Payogan.
*) Denah Desa Pakraman Payogan, Tahun 1893.
(Data Dari Sesepuh Desa Payogan)
(info yang diperoleh dari Pemuka Masyarakat Payogan).
IV.3.6. Raja Ubud, Tjokorda Gde Agung
Sukawati Menganugrahkan Tanah Kepada Masyarakat Payogan Untuk Membangun Pura
Dalem, Mrajapati dan Setra.
Masyarakat Payogan yang terdiri dari 25 kepala keluarga , diantaranya :
·
Keturunan Wang Bang Pinatih, antara
lain : I Kebyeng, I Kudus, Nang Kesir, I
Kesul, Nang Tiles, I Tatal, I Wadih dan
I geduh.
·
Keturunan Tangkas Kori Agung, antara
lain I Gongsor, Nang Sarwa, Nang Liges, I Sraya, I Wenten, I Sintek, I Daweg, I Genok, I Tekek, Pan Pamit, Nang
Kebyak, I Runi, dan Nang Lecir.
·
Keturunan Pande (Tonja) Tohjiwa,
antara lain : I Tinggal, I Mengkeh, I
Buwana.
·
Keturunan Pasek Gelgel, bernama I Tumtum.
Dari usaha masyarakat baru bisa
berdiri Pura Desa, Puseh, Pura Mlanting dan Pelinggih Ratu Ngurah Sakti Agung,
yang didirikan dalam satu lokasi di Pura Desa lan Puseh Payogan. Pura-pura yang
didirikan, disesuaikan dengan pura-pura yang ada di Gerih (Tegallumbung). Lahan
untuk membangun Pura Dalem dan Setra belum ada, Masyarakat Payogan meminta ijin
kepada Masyarakat Lungsiakan, untuk bisa mempergunakan setra Lungsiakan
bersama-sama.
Dengan ketulusan hati, masyarakat
Lungsiakan memberikan ijin tersebut. Jadilah kemudian warga Payogan “Mesetra”
di Lungsiakan. Kira-kira Tahun 1940
Prajuru Payogan menghadap ke Puri Agung Ubud, memohon tanah untuk membangun
Pura Dalem, Pura Mrajapati dan Setra. Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati, raja Ubud
waktu itu, yang merupakan putra dari Ida Tjokorda Gde Sukawati, menganugrahkan
tanah yang terletak disebelah barat Payogan berbatasan dengan Kedewatan.
Tahun itu juga masyarakat Payogan membangun Pura Prajapati dan membuat Setra,
tetapi pelinggih Gedong Dalem dibangun di Pura Desa Puseh Payogan. Sebagai peringatan
dibangunnya Pura Prajapati dan Setra, lahirlah seorang anak laki-laki dari I
Wenten, dan kemudian diberikan nama I Kawit, yang artinya ngawit
(Mulai) membuat setra dan
Pura Prajapati. Dan juga lahir beberapa hari kemudian I Pageh yang artinya Magehang
Setra.
*) Foto (
Tahun 1915 ) Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati lan
Ida Tjokorda Istri Muter( Tjokorda Buncing )Keputra antuk Ida Tjokorda
Gde Sukawati Puri Agung Ubud.
Karena sudah memiliki setra, Prajuru
Payogan kembali menghadap Masyarakat Lungsiakan mohon pamit Mesetra di Lungsiakan. Dan sekaligus
mengucapkan terima kasih atas ketulusan Masyarakat Lungsiakan memberikan warga
Payogan “Mesetra” bersama dari tahun 1893 sampai dengan tahun 1940. Setelah
rampungnya pembangunan Kayangan Tiga, Gedong Dalem yang semula dibangun di Pura
Desa, dipindahkan ke Pura Dalem Payogan, bersanding dengan Pura Prajapati,
akhir Tahun 1950.
*) Foto (
Tahun 1970 ) Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati
Selanjutnya masyarakat mulai
memikirkan pelaksanaan Piodalan (Karya Agung). Baru pada Tanggal 16 September 1958, Anggara Wage Pahang,
Tanggal Ping 3, Sasih Kapat, Saka 1880,masyarakat Payogan melaksanakan upacara
Pedudusan Alit di Pura Dalem Payogan. Tanggal 19 Oktober 1966, Buda Wage
Mrakih, penanggal Ping 5, Sasih Kalima, Saka 1888, masyarakat Payogan
melaksanakan upacara Pedudusan Alit di Pura Desa lan Puseh Payogan, dan waktu
itu Puri Agung Ubud sebagai pengrajeg Karya.